Sorry Story

“Keep it that way.” Gerutunya bisik-bisik.

“Iyaa, cerewet ih. Sekarang udah pas kan?” Kesalku bisik-bisik.

Dia tidak menjawab, hanya tersenyum, mengangguk halus. Sudah kali ketiga suamiku meminta video call hari ini. Hanya sebentar mengobrol denganku, sisanya dia habiskan waktu memandang Dita, yang tengah asik menonton drama korea.

“Mau kucoba lagi?” Tanyaku bisik-bisik.

“Nggak, nggak usah. Udah tau Dita bakal ngomong apa. Daripada dia marah. Udah, gini aja.” Senyumnya sambil berbisik.

Dita tak lagi mau ngobrol dengan Ayahnya. Kadung kesal. Janji pulang bulan kemarin menguap, diganti janji pulang minggu kemarin, namun sayangnya kembali mengudara. Tanpa bisa beri kepastian, hanya permohonan maaf.  

Suamiku bekerja sebagai kepala marketing dalam suatu perusahaan digital start-up ternama. Dia tidak bisa diam di satu tempat dalam satu minggu. Terlebih ketika dua bulan lalu presiden menyebutkan bahwa perusahaan Suamiku adalah start-up terbaik di negeri ini. Ada momentum yang harus dimanfaatkan untuk memasarkan aplikasi unggulan ke negara lain.

Saking sibuknya, Suamiku melupakan hari ulang tahun Dita. Melupakan hari jadi kami dua minggu setelahnya. Lupa untuk tidak bekerja terlalu keras, lupa meminum obat, hingga kini harus kembali menjalani operasi jantung kedua.

“Kamu gimana? Sekarang tinggal nunggu?” Cemasku bisik-bisik.

“Iya, paling bentar lagi. I’m okay. It will be okay.” Bisiknya menenangkan.

“Lagian, kenapa sih nggak serius minum obatnya, Aku udah bilang, Kamu harusnya istirahat full. Kantor juga ijinin, kenapa sih, maksa buat kerja? Kan.” Gemasku, tak lagi berbisik.

“Ayah?” Dita menoleh ke belakang, memergoki Aku yang bersembunyi di balik tiang.

Senyumnya kembali merekah. Girang karena Dita menampilkan wajah, meski dengan muka marah.

“Ayah ya itu Bun?” Suaranya meninggi.

“Iya, boleh ngobrol bentar nggak kata Ayah?” Tanyaku cemas.

“Nggak! Udah, Ayah kerja aja terus!” Menggerutu, menghempas remot, pergi membanting pintu kamar, menghempas badan ke kasur.

Wajahnya mulai sayu, sedih. “Nggak usah gitu, Dita bilang sama Aku, Dia nggak mau  ngomong sama Kamu karena takut makin rindu, perih.”

“Bukan karena marah?” Suamiku memastikan.

Aku menggeleng, “Udah lewat itu. Sekarang pengennya Kamu. Disini, main sama dia ke taman mini.”

Dirinya  tak sanggup menahan tawa kecil yang terselip di ujung bibirnya. “Iya? Bilangin, nanti Aku bawain oleh-oleh. Dia mau apa, bilang aja.”

“Iya, nanti Aku tanya.”

Perawat datang, “Udah dulu ya, Aku mau dibawa ke ruang operasi. Hendra will call you soon.”

“Love you.” Jawabku cepat. Matikan panggilan sigap. Kemudian jantungku mulai menghentak. Gugup.

Berkat terapi meditasi tiap minggu, Aku berhasil menguasai cara menenangkan diri melalui pernapasan, biar tidak mudah marah, tidak mudah gelisah. Suamiku juga bilang tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Meski kini dia berada di Hongkong, dirinya tidak sendiri, sahabatnya, Hendra, ada disana. Dokter yang mengoperasinya juga terkenal, namanya ada dimana-mana, sebagai dokter bedah jantung terbaik asia. Kini yang terbaik adalah menunggu panggilan Hendra dengan tenang, dengan mencoba menenangkan Dita.

Tok tok tok. “Sayang, mau kue?”

Tidak ada jawaban. “Ayah bilang, Kamu mau oleh-oleh apa?” Sengajaku bertanya, biar memancing Dita marah, biar bicara, tapi tak berhasil jua.  

*

Sudah empat jam sejak Aku bicara dengan Suamiku dan Dita. Tidak ada panggilan, hati semakin gelisah, tidak tenang. Resah berkepanjangan. Sudah sedari tadi ku coba tidur, tapi mataku enggan.

Keluar kamar, Aku mendapati Dita kembali ke sofa. Memencet remot, mengganti berkali-kali saluran.

‘Nonton apa?” Menghempaskan badan di sebelah Dita. Bertanya seolah tak ada apa-apa.

“Armageddon. Film jadul kayaknya.” Jawabnya singkat.

“Oh iya, bagus ini filmnya.” Pas! Adegan ayah dan anak perempuannya bisa jadi membuat Dita tak lagi marah.

**

“Nih.” Ku sodorkan tisu kepada Dita yang tak berhenti menangis daritadi. Matanya sembap, hidungya penuh, dadanya sesak menahan tangis. Menahan rindu.

Setengah jam akhirnya berhasil menangkan diri. Dita pun meminta, “Hape baru. Dita mau hape baru keluaran samsung.”

“Oke, Bunda langsung bilang ke Ayah nih ya!” Ujarku girang. Meraba handphone di bawah bantal. Delapan panggilan tak terjawab, satu pesan masuk belum terbaca.




Satu pesan dari Hendra.

Kamal, operasinya gagal.




Oh andai sebelumnya Dita bicara dengan ayahnya.

Andai Suamiku tak gila kerja.

Andai operasi jantung tidak harus ada.

Andai lebih cepat Aku bisa kuasai emosi jiwa.

Andai malam itu Aku tidak menusuk dan merusak jantungnya.

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Leave a comment