Hari ini jalanan lebih sepi dari biasanya. Begitu pula dengan ramainya jalanan yang diisi oleh gumaman orang-orang. Hanya sesekali lewat jalan tergesa-gesa langkah pria atau wanita terburu-buru seperti lupa mematikan kompor di rumah. Sesekali pula lewat anak kecil yang memeluk erat badannya sendiri sambil kedinginan, berlari kecil dengan hidung yang memerah.
Kendaraan bermesin dan yang tidak bermesin juga jarang terlihat. Biasanya, pada hari biasanya, jalanan penuh dengan suara keras klakson dan wajah yang tak sabar. Kali ini sepi. Berkali-kali aku cek handphone, mengintip hari dan jam, bukan sabtu atau minggu melainkan rabu, dan waktu sudah jelang dua belas siang. Kemana orang-orang?
Aku yang dari nyaris siang duduk di sini dengan teh hangat jarang dibuat bosan oleh rutinitas orang-orang. Dari menghitung seberapa banyak dari mereka yang memakai kemeja, atau berapa banyak dari mereka yang memakai kacamata, atau lebih banyak mana dari mereka yang memakai baju strip horizontal atau vertikal, masih banyak lagi. Tapi belum juga siang, aku sudah sampai pada batas kebosanan.
Aku berdiri, kali ini aku mencoba kembali ke tempat aku berada tadi pagi. Jika sudah tidak lagi ada yang menarik, biasanya aku akan kembali ke rumah, dan tidur. Tapi aku benar-benar penasaran, kemana orang-orang sibuk itu pagi ini? Kenapa jalanan dibiarkan sepi? Akhirnya dengan decakan malas aku berbalik arah dan mencoba mencari tau, sekian sedikit orang-orang yang melewatiku dari tadi, mereka bergegas ke arah sebaliknya, ke arah sana.
Hanya beberapa langkah ke depan, dadaku ditahan seseorang dengan rambut hanya pada sisi dekat telinganya. “Hmm..” Meruncing matanya melihatku dari ujung topi sampai ujung sepatu.
“Berapa yang sudah kau gadaikan?” Tanyanya buru-buru.
“Siapa kau?” Sambil ku lihat tanda pengenalnya yang terhalang papan kertas di dada kirinya.
“Aha! MARVOS LOHO!” Senyumku garing dan panik.
“Berapa?” Tanyanya tajam.
“Semuanya, termasuk angsa-angsaku di belakang rumah.” Sambilku menelan ludah karena gugup.
“Aha! Marvos Loho!” Ulangnya sambil mengejekku.
“Masih kurang, mungkin kau berpikir menggadaikan keperjakaanmu kepadaku.” Bisikannya membuatku merinding.
“Marvos Loho tidak boleh! Tidak akan! Dan tidak pernah!” Jawabku panik.
“Aha! Marvos Loho!” Terkekeh dia sambil melengos pergi.
Kemarin baru saja aku membeli rumah, kecil memang, tidak menampung untuk dua orang. Tapi angsa-angsa cukup, sedikit kecil pekarangan belakang dibuatnya ramai dengan suara-suara parau sesekali. Pernah sesekali aku berpiki untuk menukar angsa ini dengan uang, atau mungkin telornya. Tapi tidak, aku yang hanya mahir berjualan telor angsa tidak mungkin menerima uang dari hasil menjual dua pasang angsa untuk seumur hidup. Jalan pintas yang menggiurkan, tapi menjebak. Sama seperti Marvos Loho. Penebar hutang yang unggul!
Meski baru pertama kali aku bertemu dengannya, tapi badannya yang kecil serta rambutnya yang semerawut sudah mampus membuatku terintimidasi. “Hutang secara online! Secara online! ONLINE!” Teriaknya beberapa bulan lalu. Membuat para penghutang tidak berotak menjadi gegap gempita. “Berhutang saja, secara online! Besok lusa pindah kota!” Ujar orang-orang. Seolah-olah mereka bisa seberuntung itu lari dari Marvos Loho!
Seorang wanita berambut merah buru-buru menghampiriku, berbisik, “Garandaria, sebelum sore ini, coba ke sana!”
“Untuk apa?” Tanyaku heran.
“Marvos Loho! Marvos Loho selalu lupa jalan ke sana! Ingat! Garandaria! Sebelum sore ini!” Kemudian dia sprint, berlari begitu kencang hingga membuat rambut rontoknya berterbangan.
Apa yang akan aku lakukan? Angsa-angsaku bisa bertahan tanpaku sehari. Lagipula pakan sudah sedia dari pagi. Mungkin aku akan ke Garandaria. Sekarang, menjauh dari Marvos Loho.
Sepanjang jalan aku bertanya-tanya, seperti apa masa kecil Marvos Loho, tempat seperti apa Garandaria? Apa benar ini jalannya? Berlari dari hutang membuatku jengah beberapa kali. Seperti lari di tempat tanpa mengeluarkan keringat. Berpikir sepanjang rel membuatku cepat sampai di Garandaria.
Balon.
Sekeluarnya aku dari kereta, banyak balon yang menyerbu wajahku!
“Daram daram pam pam pam! Daram daram pam pam pam!
Selamat datang! Selamat girang!
Garandaria, Garandaria, tempat kau datangkan senang, lupakan muram.
Garandaria, Garandaria, kami punya banyak, dari singa terbang hingga rumput goyang!
Daram daram pam pam pam! Parapam pam dam dam dam!
Tengok kemari, tengok kesana, kelinci babi, bermacam rupa, tak kau ingat gaya!
Melipir mari, melipir sana, daging kursi, berulang kali dilempar, pria kekar tak berdaya!
Daram pam param param param!
Ini Garandaria, Selamat datang! Selamat girang!”
Dari awal dan seterusnya, kurcaci kecil dari Garandaria ini beryanyi terus menerus. Wajahnya seperti dipaksa untuk terus tersenyum, dengan topi pesulap tinggi di kepalanya, dengan putaran-putaran badan khas ujung tumitnya.
Dan ketika mencoba menoleh ke atas, aku terperangah! Balon-balon udara dari kertas bermuculan! Berterbangan dan menurunkan glitter-glitter kemerlap! Bagai kembang api!
Garandaria! Kota sirkus!
Aku berjalan-jalan ke sekeliling Garandaria, melihat-lihat pertunjukkan dengan penuh rasa senang! JAGAL MOTOR JAGAL Apa ini? Keriuhan besar di dalam tenda, penasaran memuncak, dan aku ingin masuk! Tepuk tangan, decak kagum, dan napas orang-orang seakan diambil di dalam sana! Pertunjukkan apa yang mereka mainkan di dalam sana? Apa yang coba mereka jagal?
Ketika penasaran menuntunku masuk ke dalam, aku dimintai bayaran. “Aku… Tidak memiliki uang. Sepeserpun.”’ Ucapku.
“Apa saja meski bukan uang, apa saja.” Algojo depan pintu masuk bermuka masam dan tidak bergeming.
Spontan aku merogoh kantong, dan menemukan satu telor angsa milikku, telor angsa pertama di bulan ini, telor angsa yang keluar dari pantat angsa yang aku beli dari hutang pada Marvos Loho! Berjualan telor angsa! Ide terbaikku tahun lalu.
“Ini.” Kataku miris.
“Kurang, kau pikir cukup? Hanya satu telor? Tidak ada lagi?” Gemertak-gemertak marah giginya terdengar.
Aku geram, berjingkit aku, ketus ku bicara, “Ini telor angsa terbaik sepanjang sungai Rollar! Tanpa garam! Kau sedang menyentuh TELOR ANGSA TERBAIK! Ambil! Atau tidak!”
“Baiklah, masuk.” Sambungnya tanpa jeda sambil membuka tirai.
Tiba di dalam tenda, aku melihat banyak orang yang napasnya terambil! Bagaimana tidak! JAGAL MOTOR JAGAL berarti penjagal berkendara motor dengan kecepatan tinggi memotong-motong kepala dan memisahkannya dari tubuh mereka! Dengan atau tanpa leher!
Sepanjang deru motor di berteriak dan dengan pedang panjang lebar, selebar golok dan sepanjang dua kali samurai, dia berteriak girang sambil menjagal! “JAGAL! MOTOR JAGAL!” Teriaknya.
Orang-orang menonton sambil terkesima! Ada beberapa diantaranya tertawa, menapiskan air mata karena gelak tawanya dengan lembaran uang besar, dengan nilai tertinggi di negara ini. Sedangkan wanita lainnya di sebrang sana yang berglamorkan pita emas hanya bisa tertawa, melihat aksi gila dari JAGAL SI MOTOR JAGAL. Pria satu lagi di sebrangku disibukkan dengan kagumnya yang tidak percaya, betapa cepat penjagal memisahkan kepala dari tubuh mereka! Setelah beres pembantaian itu, mereka bersorak sorai, dengan deru motor yang makin kencang, dan meneriakkan sebuah nama, “MARVOS LOHO! MARVOS LOHO!” Diikuti dengan lemparan uang, bunga, dan perhiasan.
Sontak aku yang melihat kejadian tadi ingin segera keluar dan meminta kembali telor angsa pertamaku di bulan ini. telor terbaik sepanjang sungai Rollar! Belum lagi aku ingin lari dari Marvos Loho! Penjual telor angsa terbaik sepanjang sungai Rollar ingin lari dari penebar hutang secara online sekaligus sang penagih, SANG MARVOS LOHO!
“Baiklah! Kali ini, kali ini, dan hanya untuk hari ini, saya akan memberikan pertunjukkan ekstra!” Gema Marvos Loho diikuti riuh makin nyaring di tenda.
Sedangkan aku masih mencari-cari jalan masuk tadi. Kemana jalan masuk tadi? Kenapa semua begitu bulat tanpa ada jalan keluar atau masuk? Keluar! Keluar! Keluar!!!
“Kali ini, saya akan melompati lingkaran penuh api!” Diikuti dengan gema orang-orang biadab itu dengan teriakan “MARVOS LOHO!”
“Dan satu jagal terakhir, setelah lompatan api! Dengan pedang penuh api! Hahahahaha!” Suasana tenda semakin riuh.
Sedangkan aku sudah menyerah dan duduk tanpa tenaga di dekat pintu masuk. Ya, setidaknya tadi di sini ada pintu masuk.
“Dan untuk pertunjukkan terakhir ini, saya panggilkan! Robar Kaliminenko!” Namaku disebut? Apa? Namaku disebut!
Dua algojo mengangkatku yang lemas tanpa tenaga, penonton melihatku dengan tawa dan beberapa di antaranya jijik. Tubuhku lemas tanpa tenaga. Sedangkan Marvos Loho sudah menyalakan motor, lingkaran api sudah disiapkan, dan aku sudah berlutut siap berhadapan dengannya. Tubuhku sangat lemas, tanpa diikat, aku tidak bisa bergerak. Kepalaku pusing dengan riuhnya orang orang berteriak. Belum lagi pemandangan penuh darah di panggung. Manusia-manusia ratusan tanpa kepala berserakan.
Deru motor melaju, Marvos Loho berhasil melewati lingkaran api. Dan kini aku sadar kenapa kota begitu sepi. Semuanya berlari dari Marvos Loho, berlari ke Garandaria, untuk bertemu kembali sebentar sebelum dipenggal oleh Marvos Loho.
Sejenak sebelum ajal, aku melihat wanita berambut merah yang kutemui tadi pagi bertepuk tangan dan mengedipkan mata di kursi paling atas. Kepalaku penuh dengan telor angsa, sampai akhirnya buyar karena Marvos Loho berteriak.
“AHA! MARVOS LOHO!”