Sorry Story

“Keep it that way.” Gerutunya bisik-bisik.

“Iyaa, cerewet ih. Sekarang udah pas kan?” Kesalku bisik-bisik.

Dia tidak menjawab, hanya tersenyum, mengangguk halus. Sudah kali ketiga suamiku meminta video call hari ini. Hanya sebentar mengobrol denganku, sisanya dia habiskan waktu memandang Dita, yang tengah asik menonton drama korea.

“Mau kucoba lagi?” Tanyaku bisik-bisik.

“Nggak, nggak usah. Udah tau Dita bakal ngomong apa. Daripada dia marah. Udah, gini aja.” Senyumnya sambil berbisik.

Dita tak lagi mau ngobrol dengan Ayahnya. Kadung kesal. Janji pulang bulan kemarin menguap, diganti janji pulang minggu kemarin, namun sayangnya kembali mengudara. Tanpa bisa beri kepastian, hanya permohonan maaf.  

Suamiku bekerja sebagai kepala marketing dalam suatu perusahaan digital start-up ternama. Dia tidak bisa diam di satu tempat dalam satu minggu. Terlebih ketika dua bulan lalu presiden menyebutkan bahwa perusahaan Suamiku adalah start-up terbaik di negeri ini. Ada momentum yang harus dimanfaatkan untuk memasarkan aplikasi unggulan ke negara lain.

Saking sibuknya, Suamiku melupakan hari ulang tahun Dita. Melupakan hari jadi kami dua minggu setelahnya. Lupa untuk tidak bekerja terlalu keras, lupa meminum obat, hingga kini harus kembali menjalani operasi jantung kedua.

“Kamu gimana? Sekarang tinggal nunggu?” Cemasku bisik-bisik.

“Iya, paling bentar lagi. I’m okay. It will be okay.” Bisiknya menenangkan.

“Lagian, kenapa sih nggak serius minum obatnya, Aku udah bilang, Kamu harusnya istirahat full. Kantor juga ijinin, kenapa sih, maksa buat kerja? Kan.” Gemasku, tak lagi berbisik.

“Ayah?” Dita menoleh ke belakang, memergoki Aku yang bersembunyi di balik tiang.

Senyumnya kembali merekah. Girang karena Dita menampilkan wajah, meski dengan muka marah.

“Ayah ya itu Bun?” Suaranya meninggi.

“Iya, boleh ngobrol bentar nggak kata Ayah?” Tanyaku cemas.

“Nggak! Udah, Ayah kerja aja terus!” Menggerutu, menghempas remot, pergi membanting pintu kamar, menghempas badan ke kasur.

Wajahnya mulai sayu, sedih. “Nggak usah gitu, Dita bilang sama Aku, Dia nggak mau  ngomong sama Kamu karena takut makin rindu, perih.”

“Bukan karena marah?” Suamiku memastikan.

Aku menggeleng, “Udah lewat itu. Sekarang pengennya Kamu. Disini, main sama dia ke taman mini.”

Dirinya  tak sanggup menahan tawa kecil yang terselip di ujung bibirnya. “Iya? Bilangin, nanti Aku bawain oleh-oleh. Dia mau apa, bilang aja.”

“Iya, nanti Aku tanya.”

Perawat datang, “Udah dulu ya, Aku mau dibawa ke ruang operasi. Hendra will call you soon.”

“Love you.” Jawabku cepat. Matikan panggilan sigap. Kemudian jantungku mulai menghentak. Gugup.

Berkat terapi meditasi tiap minggu, Aku berhasil menguasai cara menenangkan diri melalui pernapasan, biar tidak mudah marah, tidak mudah gelisah. Suamiku juga bilang tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Meski kini dia berada di Hongkong, dirinya tidak sendiri, sahabatnya, Hendra, ada disana. Dokter yang mengoperasinya juga terkenal, namanya ada dimana-mana, sebagai dokter bedah jantung terbaik asia. Kini yang terbaik adalah menunggu panggilan Hendra dengan tenang, dengan mencoba menenangkan Dita.

Tok tok tok. “Sayang, mau kue?”

Tidak ada jawaban. “Ayah bilang, Kamu mau oleh-oleh apa?” Sengajaku bertanya, biar memancing Dita marah, biar bicara, tapi tak berhasil jua.  

*

Sudah empat jam sejak Aku bicara dengan Suamiku dan Dita. Tidak ada panggilan, hati semakin gelisah, tidak tenang. Resah berkepanjangan. Sudah sedari tadi ku coba tidur, tapi mataku enggan.

Keluar kamar, Aku mendapati Dita kembali ke sofa. Memencet remot, mengganti berkali-kali saluran.

‘Nonton apa?” Menghempaskan badan di sebelah Dita. Bertanya seolah tak ada apa-apa.

“Armageddon. Film jadul kayaknya.” Jawabnya singkat.

“Oh iya, bagus ini filmnya.” Pas! Adegan ayah dan anak perempuannya bisa jadi membuat Dita tak lagi marah.

**

“Nih.” Ku sodorkan tisu kepada Dita yang tak berhenti menangis daritadi. Matanya sembap, hidungya penuh, dadanya sesak menahan tangis. Menahan rindu.

Setengah jam akhirnya berhasil menangkan diri. Dita pun meminta, “Hape baru. Dita mau hape baru keluaran samsung.”

“Oke, Bunda langsung bilang ke Ayah nih ya!” Ujarku girang. Meraba handphone di bawah bantal. Delapan panggilan tak terjawab, satu pesan masuk belum terbaca.




Satu pesan dari Hendra.

Kamal, operasinya gagal.




Oh andai sebelumnya Dita bicara dengan ayahnya.

Andai Suamiku tak gila kerja.

Andai operasi jantung tidak harus ada.

Andai lebih cepat Aku bisa kuasai emosi jiwa.

Andai malam itu Aku tidak menusuk dan merusak jantungnya.

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Dia Adi

Setiap jam tujuh pagi dia lewat. Bersiul riang, berdendang paha tak beraturan. Telinganya tertutup rapat earphone, sesekali mulutnya bergerak tanpa suara, tanpa jeda. Rambutnya pendek hitam mengkilap, matanya penuh tawa, bahagia. Namanya Adi.

Adi selalu disapa dan menyapa siapapun yang ditemuinya. Rina, Dina, Sari, Bahrun, Doni, siapapun. Mengangkat tangan tinggi-tinggi, menyapa teman atau guru hingga penjaga sekolah, Pak Badri.

Adi selalu duduk di kursi kedua dari belakang, dekat jendela, terkena sinar mentari pagi. Duduknya rapi, bajunya rapi, matanya fokus, daya ingat dan responnya di kelas juga bagus. Aktif, menggemaskan, juga keren.

Jam istirahat siang, Adi selalu pergi bersama sahabatnya berangkulan, tertawakan yang tidak penting. Berjalan menuju kantin, memesan mie merah. Lahap mengunyah, hingga beberapa kali tersedak. Aku pun bergegas, menawarkan segelas air.

“Ini.” Sodorku ragu tapi ingin.

Meski tersedak, Adi melirik pun tidak. Seperti biasa, aku mengambang di udara, seperti tos yang menggantung. Bertepuk sebelah tangan. Tak mengapa, aku terbiasa.

Usai istirahat siang, Adi sibuk menahan kantuk. Matanya sayu, memperhatikan sambil lalu, enggan maju bila tak disuruh bapak atau ibu guru. Sesekali kepalanya jatuh dari senderan. Sesekali tangannya tak kuat menopang. Adi tadi malam begadang. Tim sepakbola Adi menang, dia senang, aku pun ikut girang.

Jam pulang sekolah, aku bergegas keluar kelas. Menunggu Adi lewat di persimpangan jalan. Merapikan rambut, berkaca melihat cela yang mungkin terselip. Rahma teman sekelasku mengajak, “Sinta, ayok pulang,”

“Nanti, sebentar lagi.” kubalas singkat sambil mata kelayapan melihat kerumunan, khawatir Adi lepas dari pandangan.

“Sinta!Jangan bilang..!” Rahma setengah memekik. Kami hanya berbalas pandang.

“Ah, sudahlah.” Rahma berlalu pergi, aku masih mendongak tinggi. Mencari-cari Adi.

Adi mendekat! Wajahnya kusam, menundukkan wajah, enggan berpapasan.

Tanganku melambai, “A..!” Suaraku tercekik, saat Adi menatapku tajam.

“Jangan mulai.” Ujar Adi dingin.

“Adi, stop. Please berhenti. Aku cuman mau ngomong sebentar. Satu menit aja.” Aku memelas, Adi melengos.

“Adi!” Aku berteriak, berharap suaraku mengejar, tapi Adi semakin jauh.

Ku raih tangannya, dihempaskan Adi genggamanku, “Sinta, cukup! Gue bukan Adi!”

Aku terperangah.

“Adi udah mati 6 bulan lalu! Kembaran gue udah mati 6 bulan lalu! Ini gue, Ali! Berapa kali gue harus bilang ke lo!” Wajah Adi memerah, memendam amarah.

“Cukup Sin. Gue udah berjuang buat move on. Lo juga harus gitu.” Adi menepuk nepuk bahuku, kemudian pergi.

Menangis. Air mata mengalir bercampur marah, linglung, kebingungan.

Terakhir kita bicara, saling bentak, saling marah, saling lempar salah. Aku merajuk, minta dirayu, dibujuk. Tapi malah dengar kamu mati tertabrak truk.

Adi, aku cuman mau bilang maaf dan makasih. Kenapa susah banget sih? Jadi Adi sehari?

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Segelas Kopi Sendiri

Kopi panas. Bukan hangat, jelang dingin, atau kopi es, melainkan kopi panas. Panas yang membuat aroma kopi berhamburan keluar, memasuki lewat hidung, nosegasm, begitu intim. Kopi dengan suhu yang menular melewati kukuku yang baru saja dicat ungu, merambat melalui jari jemari, menghantarkannya ke bagian lengan, ketiak, dada hingga dagu. Ini baru pas. Panas kopi yang pas, gumamku dalam hati.

Ku genggam erat segelas kopi di tangan, sambil berteriak girang, menyesuaikan bersama keramaian. Selain kopi, melihat pria berkeringat juga aku nikmati. Itu mengapa, diantara jadwal sidang, aku menyempatkan diri datang ke gelanggang olahraga. Kalau aroma dan rasa kopi membuatku terangsang, melihat pria berkeringat beradu fisik membuatku sumringah bukan kepalang. Entah itu sepak bola, bulutangkis, atau memasukkan bola dalam keranjang. Kini, padanan yang pas, antara menyeruput kopi panas, dan menonton laga pertama kompetisi basket nasional, antara Raksasa dan Elang. Dua tim yang perkasa, mendominasi titel juara. Seiring berjalannya pertandingan dan teriakan para wanita di kursi belakang sana, membuatku semakin tertawa bahagia. Sesekali aku tengok jam tangan, lumayan, masih sisa tiga jam.

Berbeda dengan para remaja dan wanita di belakang sana, aku duduk di baris paling depan. Berbeda dengan mereka yang berteriak setia pada timnya, mataku hanya tertuju pada dia, Raka. Pria yang membuatku jatuh cinta kedua kalinya, prioritas kedua setelah kopi tentunya. Pertandiangan berlangsung panas, aksi akrobatik dan mengejutkan saling berbalasan. Tim Raksasa berusaha membalikkan keadaan, tetap tim Elang selalu memiliki rencana cadangan. Seolah strategi tim Raksasa sudah terbaca, membuat seisi tim Raksasa frustasi dan tersiksa. Rasanya akan sama bila aku dan kopi memiliki jeda yang begitu lama. Frustasi dan tersiksa.

Priit! Time Out!” Tim Raksasa sekali lagi mengambil waktu jeda. Waktu kurang dari tiga menit, tim Raksasa kehabisan waktu jeda, belum juga bisa menyusul angka, terpaut tiga bola, enam angka. Raka berjalan kelelahan menuju pinggir lapangan. Tanpa sengaja melihat ke arahku, lantas kubalas dengan senyuman, “Ayo Raka sayang!” Entah sudah berapa kali aku meneriakkan hal yang sama berulang ulang.

Kembali tim Raksasa dan Elang bertarung di lapangan. Begitu gesit dan mendebarkan, entah berapa kali aku marah karena tetes kopi yang tumpah. Bukan karena panas atau noda, tapi jatah kopi yang berkurang. Ah, kan. Tumpah kembali berulang.

Hingga nyaring peluit tanda akhir pertandingan dibunyikan. Menutup perjuangan Raka bersama rekan setimnya Raksasa kalah tipis dua angka. Meski demikian, senyum masih kupasang. Bersama kopi yang kini tidak lagi panas, perlahan dingin, sedingin tatapan Raka menghampiri tepat setelah pertandingan.

“Nggak apa Raka, kamu udah main brilian banget tadi.” Nada bicaraku ku buat senyaman mungkin.

“Lo apa apaan sih?!” Bentak Raka.

That’s okay darling. You did great.” Raka begitu frustasi tampaknya.

“Gila lo ya!” Tangan Raka menyentak, mendorongku jauh dan membuat gelas kopiku jatuh dan pecah. Untung hanya tersisa sedikit.

Raka meninggalkanku yang menjadi tontonan banyak orang. Berlari dia menjauh menyusul rekan setimnya ke ruang ganti, meninggalkanku sendiri tanpa kopi.

Lantas aku gelisah. Tanganku gemetar, kakiku mendadak hilang pijakan, mataku berair tak terkendali. Bukan karena bentakan Raka, bukan. Tak acuh dengan cibiran dan bisikan orang di bangku penonton, aku bergegas. Mengeluarkan gelas kaca dari tas yang terbungkus aman bersama kotaknya, menyusul termos berisi kopi Kilimanjaro. Sesaat gelisahku hilang, ketika aroma kopi merebak menenangkan.

Masih tersisa gemetar di ujung jemari aku mencoba menarik gelas menuju bibir, mencicip, menyeruput, hingga meminumnya dengan banyak, dua kali teguk. Menutup mata, menarik napas panjang, kini aku kembali bisa bersenandung. Abai akan mereka yang mencibir namun perlahan pergi meninggalkan lapangan, abai akan keluhan petugas pembersih lapangan yang menegurku untuk tidak membawa minuman dalam gelas.

“Minumnya pake termos atau botol apa gimana gitu mbak!” Sambil mengeluh sambil marah.

Amatir. Sama seperti lawanku di persidangan mendatang. Petugas pembersih lapangan tidak paham sensasi meminum kopi dari gelas kaca. Bagaimana panasnya dihantarkan secara perlahan, membuat hangat, menyegarkan. Toh yang kupakai bukanlah gelas kaca sembarangan, jelas aman untuk kesehatan. Sama halnya dengan kopi yang rupawan. Bukanlah kopi sembarangan yang mudah untuk dia dapatkan dari penjaja kopi keliling yang menghampiri pedestrian.

Kembali ku tengok jam, masih ada satu jam sebelum sidang keduaku hari ini dimulai di pengadilan. Sambil duduk santai menyilangkan kaki, kembali aku resapi aroma kopi. Seruput perlahan sambil melihat papan di seberang. Laga kedua, Spartan lawan Borja. Hmm, masih ada waktu tersisa. Tak perlu bergegas ke pengadilan, pergi meninggalkan gelanggang olahraga. Toh aku akan menang pada akhirnya.

Tidak hanya sibuk menggenggam gelas kopi, jemariku satu lagi sibuk melihat isi percakapan aku dan Adrian, pemain unggulan tim Spartan. Adrian begitu sibuk, hanya sesekali sapaan dan ucapan sayangku dibalas. Kini tim Spartan masuk ke lapangan untuk memulai pemanasan. Adrian muncul, langsung ku lempar senyuman.

“Ayo Adrian sayang!” Teriakku lantang.

Lo sudah gila ya? Mulut Adrian membuka tak bersuara, tangannya mengisyaratkan lingkaran di pelipis kanan. Ucapan yang sama, berulang dan sering aku lihat di kamar percakapan.

Ah Adrian, frustasi juga?

Leave a comment

Filed under Uncategorized

LIFT

Duduk tegang aku dibuatnya. Sampai berkeringat menunggu denting lift membuka pintu tepat di depanku. Peluh basah, kerah kemeja coklat kesukaannya lepek, bahkan basah menyela di setiap senti tubuh, hingga belahan pantat. Bolak balik aku lihat jam, 15 menit lagi dia bilang, 15 menit lagi dia akan turun dan menemuiku di bawah.

Jam kantor pulang sudah lewat dari sejam lalu, sudah lewat dari empat kali 15 menit dia berkata akan menyapa, menemuiku di bawah yang gelisah, dengan peluh yang bersimbah.

Denting kesekian kalinya, pintu lift membuka.

Empat orang wanita bertubuh ekstra sibuk menahan tawa. Mengoceh entah apa, bergunjing soal pria yang ramai di sosial media. Artis kurasa. Entah soal perselingkuhan, narkoba, atau apalah apalah. Senyum sinisku meremehkan. Pekerjaan kelas rendah, sibuk berkomentar hidup orang sebagian, tapi alpa ketika diminta bicara gagasan. Malu membuka mulut, sibuk menatap apa saja yang ada di bawah. Cih, kelas rendah. Berbeda dengan Anna.

Lift kiri kini yang mendarat, pintu membuka.

Lift yang sempat berhenti di lantai tiga cukup lama. Sepasang manusia lepas remaja canggung mengusap bibir. Habis berciuman kurasa. Sisa lipstik merah masih menyisa di ujung bibir sang pria. Berdua mengalihkan padangan entah kemana, biar nyaman, setelah canggung hilang kemudian. Keduanya bukan orang yang memiliki posisi penting dan tinggi di kantor ini, kurasa. Buktinya? Gegabah bercumbu di lift kantor yang tentu ada kamera pemantau, bukanlah hal yang cerdas. Mereka yang penting dan tinggi posisi, tidak akan bercumbu di lift. Sepasang bodoh yang tidak penting. Berbeda dengan Anna.

Tidak lama, pintu lift satu lagi terbuka.

Wanita cantik semampai dengan gaya bak model asia keluar dengan langkah tegas. Suara hak sepatunya menggema tiap kali dia melangkah. Dagunya mengacung ke atas. Anggun, seksi, angkuh. Manajer pemasaran? Alena? Bukan, rambutnya bercampur pirang, Alena berambut hitam legam. Manajer personalia? Susan? Bukan, badannya tidak setinggi itu. Atau mungkin wakil direktur Rara? Ah, bukan, sudah jelas bukan. Badan Rara terlalu jauh bila dibandingkan si wanita misterius tadi. Tidak terlihat lemak di sekeliling pinggulnya. Pinggul wanita tadi begitu sempurna.

Meskipun terlihat sebegitu sempurna, tapi tidaklah secantik Anna. Tidak sesempurna Anna. Cantik, cerdas, dan memiliki posisi serta gaji yang luar biasa. Entah diikat atau tidak, terserah. Rambut Anna akan tetap terlihat indah dan membuatku bergairah. Lekuk tubuh yang pas, membuat banyak pria iri denganku. Duhai Anna, kau sempurna.

Makin tidak sabar aku dibuatnya, apalagi ini adalah hari penting. Hari tidak hanya sekedar menjemput Anna pulang dari kantor. Sekarang adalah hari dimana esok kami akan ingat sebagai hari bertunangan. Ramalan zodiak bilang, Rabu adalah hari keberuntungan. Hari ini, tepat empat tahun kami berpacaran. Semesta bertitah, memberi tanda. Membuka tangan, seolah berkata, sekarang saatnya!
Lift berdenting. Wanita yang kupuja tiba.

Anna?

Kepalanya menunduk. Rambutnya tidak terikat dengan sempurna. Menahan tangis sambil membawa kotak penuh dengan berkas, dipenuhi tumpukan kertas. Air matanya berhamburan keluar setelah melihatku. Berjalan terseok, meminta aku sambut, dipeluk, dan menangis.

Lantas aku berdiri, mengambil kotak besar dari tangannya. Tapi dia malah menarik tanganku, membawa tubuhku masuk ke dalam lift bersamanya. Kotak berat itu terempas, berhamburan, tak diperdulikan.

Anna menekan angka 38. Lantai paling atas kurasa. Kemudian lanjut menangis dalam pelukan.

“Anna?” Tanyaku penasaran.

Anna hanya menangis, memeluk, dan membenamkan kepalanya ke dadaku. Tangisnya bercampur satu dalam peluhku. Anna tidak jijik seperti biasa. Anna dalam masalah besar, kurasa.

Terisak Anna coba bicara. Satu kalimat barusan? Satu kata? Entah. Bicaranya ngawur, patah patah. Menangis sambil menelan udara buat suaranya tak semerdu biasa.

“A..aku, di…pecat.” Anna terbata.

Dipecat? Anna seorang manusia getol dengan pekerjaan, membawanya kilat ke posisi tinggi bahkan, dipecat??

Tangisnya semakin kencang, beriringan dengan lift yang naik terus ke atas tanpa berhenti, tanpa membuka pintu.

Aku mengecup kepala Anna sambil mengeluarkan cincin tunangan dari saku belakang. Putih indah berlian berkilauan.

Hmm. Cincin ini akan terlihat lebih indah di tangan Alena, kurasa. 

 

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Pelari Kencang

Dini adalah pelari kencang. Napasnya tidak pernah terengah dalam hujan deras, ataupun panas terik.

Dini, begitu menyukai berlari kencang. Meninggalkan aku yang tertinggal bersama pelan. 

Dini enggan berlari pelan, terus memacu abai akan teriakanku jauh di belakang.

Dini berlari terlalu kencang. Abai akan kehati hatian, tidak lagi ramah akan sepoi angin yang menghantam pelan.

Suatu hari, Dini tidak lagi berlari kencang. Tidak lagi berlari bahkan.

Dini angkuh dengan kecepatan, melambai pelan tanda meninggalkan, abai akan jurang di hadapan.

Esok hari bertemu Dini, dia bilang, “Larilah lebih kencang, tapi ingat kehati hatian, dan selalu finish duluan!”

Dini pelari kencang.

-di bawah hujan, pulang ke rumah habis dari warung nasi padang di depan.

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Oh Diana.

“Ah terlambat”, ujarku dalam hati. Bel kereta api penanda bahwa palang pembatas akan segera ditutup kini berbunyi. Beberapa orang disebelahku nekat berlari cepat untuk melewati palang pembatas. Meski sebenarnya belum terdengar suara kereta akan melintas, tapi tetap toh berbahaya.

“Begitulah perilaku orang yang belum pernah sekarat”, gumamku pelan.

Belum lagi kali ini kereta tampak melintas lebih cepat dari hari hari sebelumnya. Wajah – wajah menahan kantuk sambil berdiri sekilas tampak. Pria, wanita, tua, dewasa, bercampur di dalam gerbong – gerbong beriringan menuju tempat yang sama, untuk kemudian mereka memecah.

Kembali kuingat isi gerbong kereta. Ada diantara mereka berpakaian rapi, ada pula yang memakai sendal jepit. Begitu beragam manusia dalam satu gerbong, begitu banyak pula cerita kami di gerbong. Cerita yang masih bisa aku ingat dengan jelas seperti tulisan timbul di sampul buku mahal untuk balita. Ingatan itu seperti bisa kuraba, bahkan kucium aromanya. Masih ingat bagaimana Aku dan Diana berdesakan tak sengaja di gerbong menuju istana. Saling berkenalan, berkencan, hingga akhirnya menikah. Menikah untuk 12 tahun lamanya.

Sayup – sayup bel palang kereta menaik kini berbunyi, hingga meredam, dan berganti dengan suara klakson mobil motor terburu buru acuh tak acuh tak sabar. Kembali ku perhatikan kiri kanan, memastikan kali ini tidak ada lagi kereta yang lewat, meski sudah tak ada lagi palang yang menghalang. Hei, nyawa hanya ada satu, bisa jadi si petugas palang pun terlarut dalam kolase lamunan, bukan?

Setelah ku pastikan aman, menyebrang, dan ku lanjutkan lari kemudian.

Aku begitu menyukai berlari, terlebih di pagi. Berlarian memacu kaki, berbalapan dengan matahari. Entah kenapa, berlari seolah membuatku merasa lebih lega daripada sebelumnya. Lari dan tidur adalah kombinasi sempurna bagiku, agar berpikir lebih tenang dan brilian kemudian. Tapi sayang, lari lariku beberapa minggu terakhir begitu berbeda.

 

Sebegitu sulitnya kah abai akan Diana?

 

Apabila sebelumnya, aku terbiasa berlari tenang, diikuti iringan lagu yang kencang. Kini napasku begitu jelas terdengar. Meski volume mencapai batas, pikiranku masih mengawang, sulit abai akan Diana. Bahkan Diana juga muncul dalam mimpi. Kombinasi lari dan tidur, sudah puluhan kalinya kini gagal. Gagal membuatku tak lagi gelisah, dan tak lagi percaya kalimat di ujung buku tulis sekolah, bahwa hari esok akan lebih baik dari hari sebelumnya.

Diana selalu dalam potret yang sama dalam benakku. Dibalut gaun hitam berputar putar, menari dengan senyum lebar. Berulang kali menggoda memainkan rambutnya, menarikku tanpa menyentuh, berbisik tanpa bersuara, hingga sadarku dalam lamunan ketika jatuh air mata.

Diana selalu menyukai menyanyikan lagu riang dalam nuansa berkebalikan. Bisa kau bayangkan bagaimana lagu lagu semacam Best Day of My Life nya American Authors dibuat seperti Firasat nya Marcell atau Raisa. Such a pain. Such a guilty pleasure. Yang membuatku lebih geram adalah ketika melihat ekspresi wajahnya saat bernyanyi yang begitu datar. Entah topeng apa yang dia pakai.

Aku juga masih ingat, bagaimana kami berdua menghabiskan senja bersama di tengah kota. Dari ketinggian, kami hitung satu persatu lampu gedung yang mulai menyala. Berawal dari satu persegi kaca yang berada di lantai tiga teratas, lampu jalanan yang serentak mati nyala bergantian, hingga sinar mobil yang jatuh di jalanan. Kami bicara banyak, dari alotnya menentukan dekorasi rumah, kapan punya anak, hingga dimana nanti kami akan tinggal dan akan apa saat tua tiba. Diana selalu berpikir spesifik, gaya berpikirnya seolah selalu memojokkanku. Tapi itu dia, dia Diana, wanita yang kucinta.

Terlalu asik Diana berputar putar dalam kepalaku, hingga tak terasa, lariku kini harus berhenti. Sayang, kini aku ragu, bisakah aku tidur setelah berlari? Bisakah aku lalui hal yang sama berulang seperti dulu?

 

Nak, jadi? Ibu Diana mengirimkan pesan singkat kepadaku.

 

Aku tidak membalas, melainkan dengan mencoba kembali mengambil napas, dan masuk ke dalam rumah sakit. Bergegas menuju ruangan Diana, sambil ingat pesan almarhum bapak, Seorang militer harus kuat, pandai ambil keputusan. Terlebih berpegang kuat pada putusannya itu. Ucapan adalah janji. Pesan yang disampaikan bapak kepadaku ketika aku membulatkan tekad ingin menjadi pasukan pengaman presiden. Pesan yang sama, yang kembali diingatkan ketika aku menikahi Diana. Bapak bilang, pernikahan itu seperti perang. Perang batin, perang ego, perang yang bisa diselesaikan dengan cara militer. Yang tujuan awalnya pasti sama, sebisa mungkin tidak ada korban jiwa perasaan. Negosiasipun harus didahulukan. Militer atau tidak, untuk Diana, aku harus kuat, selalu pandai ambil keputusan, meski kini aku tidak yakin.

 

Berjalan aku cepat, mencoba sebisa mungkin mengabaikan mata mata yang basah di sepanjang lorong. Aku masuk, hanya ada Ibu dan dokter di kamar Diana. Ibu tak bicara apa-apa, hanya sibuk menahan tangis dan air mata.  Sorot mataku membuat Ibu memelukku, dan keluar dari kamar. Dokterpun bicara.

 

“Sudah siap, mas?” Aku balas mengangguk yakin. Militer harus kuat. Aku harus kuat.

 

“Yang harus mas Imam lakukan adalah menarik alat bantu pernapasan Diana. Dengan demikian, Diana akan—“ Aku mengangkat tangan, memberikan isyarat bahwa aku mengerti apa yang harus aku lakukan. Dokter mengangguk, dan mempersilakan.

Jalan tahun kedua pernikahan kami, Diana sudah terbaring di ICU. Kecelakaan kereta hebat menjadi penyebabnya. Seorang supir taksi bunuh diri membawa Diana di kursi belakang, sengaja memarkirkan kendaraan di atas rel sesaat kereta akan melintas. Supir itu lelah dengan perannya sebagai ayah. Alasan itu yang membuat Diana terbaring tak sadar selama hampir sebelas tahun. Bergantung pada alat bantu pernapasan, dalam paras cantiknya yang tidak pernah pudar, hanya semakin kurus.

Aku berjalan maju mendekati Diana. Lebih lamban dari sebelumnya. Mencium keningnya, membelai rambutnya, dan memainkan ujung jarinya yang kaku.

Tanganku gemetar hebat, ketika memegang selang, alat bantu napas Diana yang terhubung langsung ke paru. Tangan bahkan seluruh tubuhku gemetar hebat, sulit rasanya berdiri. Menarik napas panjang, aku tarik selang, tak lama, Diana kejang.

Diana akan pergi selamanya. Saat tubuhnya bergerak tak beraturan, aku memeluknya. Menenangkan dan meminta maaf.

 

“Diana, maafkan, aku tidak lagi punya uang.”

“Oh, Diana.” lirihku pedih.

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Suka-suka Kematian

Kepalaku terasa kosong, sedari tadi aku memengang handphone, mencari hiburan, namun seisi kepalaku terasa kosong. Ku letakkan handphoneku yang tak lagi menghibur. Bersender kepalaku pada sisi kecoklatan sofa yang sudah memudar. Saat ku pandang dia, dirinya masih saja sibuk menundukkan kepala dan mengucapkan banyak terima kasih pada orang-orang yang datang atau hanya sekedar mampir. Bisakah nanti, aku sekuat dirinya?

Wajahnya berseri penuh bahagia. Tak sedikitpun lirih ku lihat di tiap balasan tatapannya. Tubuhnya tidak gemetar atau bahkan meringkuk lemas tak mampu berdiri. Bahkan kebalikannya, sopan mapan dia berdiri menyambut tamu dengan penuh gelora di tiap suaranya. Seperti itukah aku nanti? Telanku dalam-dalam air liur yang membuncah.

Bahkan dari yang aku dengar, sejak awal dia menemani. Melihat segala proses perpisahan yang aku bayangkan saja begitu membuat hatiku berdecit pilu. Bagaimana bisa, nanti aku seperti itu?

Dulu, ya dulu. Mungkin ketika dulu semasa SMP aku masih bisa, dan kenyataannya memang bisa. Ditinggalkan lebih dulu oleh kakek dan nenek bukan semuhrim tidak membuatku sedih lebih-lebih kepikiran seperti ini. Tapi semenjak hari itu, semenjak aku bermimpi kehilangan papah dan mamah, yang membuatku menangis dalam tidur, membuat segalanya berubah. Mimpi yang jauh lebih menakutkan ketika aku sempat bermimpi berenang dengan hiu besar yang siap menelan sehingga membuatku takut mandi, atau bahkan mimpi ketika kita semua mati dalam kiamat.

Sejak hari itu hatiku mejadi jauh lebih lembut. Pelan-pelan malu dan gengsi memeluk dan mengecup itu hilang. Semakin terbayang bila nanti harinya tiba, sekuat apa aku bisa? Pelan-pelan khawatir ini berubah. Tidak lagi aku takut mati, lebih-lebih mati bila aku nanti yang harus kehilangan mereka. Namun mau tidak mau, siap tidak siap, aku harus belajar menjadi lebih kuat dan percaya. Harus dan secepatnya.

Ketika kali ini aku bertanya pada diri sendiri, seberapa banyak, teman-teman sepermainan, saudara, atau bahkan orang lain yang telah menjadi anak yatim, piatu, bahkan yatim piatu? Sering kali bila kabar mereka bersedih tiba hanya muncul iba. Hanya muncul iba yang sesaat datang, seketika keluar rumah mereka lupa pada kematian yang selalu dan sedekat itu mengingatkan. Kematian yang tidak berteriak dari kejauhan, melaikan berbisik pelan terdengar kencang. Sedekat apa sudah, kau, kematian? Sekuat apa sudah, aku, kali ini?

Mengusap wajah dengan kedua tangan, membuka tutup mataku yang mulai berat. Sudah berapa lama aku duduk disini? Detik, menit, hingga jam kadang tidak terasa sama halnya seperti empat tahun lamanya aku merantau. Waktu berjalan tanpa permisi menggunakan pintu keluar masuk seenaknya, sedang dia masih saja berdiri di sebelah sana dengan pose yang terus berulang, menyalami orang yang datang, kemudian mengucapkan selamat jalan.

Aku menghela napas panjang, mengambil handphone, kemudian menelpon. Tiap dering tunggunya membuatku tak sabar, sekali tidak diangkat. Kedua kalinya aku menelpon pun sama saja. Hingga telepon yang ketiga, tidak dapat tersambung. Mungkin saja sibuk, mungkin saja tidak terdengar dering suaranya, mungkin saja memang tangannya kotor karena sesuatu, mungkin saja, apa saja.

Drrt. Handphoneku bergetar, orang yang sama dari tadi aku coba telepon akhirnya menelpon balik.

“Halo, mah?”

Bisa jadi kali ini obrolan terakhir kami. Kapan terakhir, kau menelpon, hanya sekedar menelpon dan berbincang dengan papah mamah? Bisa jadi itu obrolan terakhir kalian. Suka-suka kematian.

Leave a comment

Filed under Uncategorized

TELOR ANGSA

Hari ini jalanan lebih sepi dari biasanya. Begitu pula dengan ramainya jalanan yang diisi oleh gumaman orang-orang. Hanya sesekali lewat jalan tergesa-gesa langkah pria atau wanita terburu-buru seperti lupa mematikan kompor di rumah. Sesekali pula lewat anak kecil yang memeluk erat badannya sendiri sambil kedinginan, berlari kecil dengan hidung yang memerah.

Kendaraan bermesin dan yang tidak bermesin juga jarang terlihat. Biasanya, pada hari biasanya, jalanan penuh dengan suara keras klakson dan wajah yang tak sabar. Kali ini sepi. Berkali-kali aku cek handphone, mengintip hari dan jam, bukan sabtu atau minggu melainkan rabu, dan waktu sudah jelang dua belas siang. Kemana orang-orang?

Aku yang dari nyaris siang duduk di sini dengan teh hangat jarang dibuat bosan oleh rutinitas orang-orang. Dari menghitung seberapa banyak dari mereka yang memakai kemeja, atau berapa banyak dari mereka yang memakai kacamata, atau lebih banyak mana dari mereka yang memakai baju strip horizontal atau vertikal, masih banyak lagi. Tapi belum juga siang, aku sudah sampai pada batas kebosanan.

Aku berdiri, kali ini aku mencoba kembali ke tempat aku berada tadi pagi. Jika sudah tidak lagi ada yang menarik, biasanya aku akan kembali ke rumah, dan tidur. Tapi aku benar-benar penasaran, kemana orang-orang sibuk itu pagi ini? Kenapa jalanan dibiarkan sepi? Akhirnya dengan decakan malas aku berbalik arah dan mencoba mencari tau, sekian sedikit orang-orang yang melewatiku dari tadi, mereka bergegas ke arah sebaliknya, ke arah sana.

Hanya beberapa langkah ke depan, dadaku ditahan seseorang dengan rambut hanya pada sisi dekat telinganya. “Hmm..” Meruncing matanya melihatku dari ujung topi sampai ujung sepatu.

“Berapa yang sudah kau gadaikan?” Tanyanya buru-buru.

“Siapa kau?” Sambil ku lihat tanda pengenalnya yang terhalang papan kertas di dada kirinya.

“Aha! MARVOS LOHO!” Senyumku garing dan panik.

“Berapa?” Tanyanya tajam.

“Semuanya, termasuk angsa-angsaku di belakang rumah.” Sambilku menelan ludah karena gugup.

“Aha! Marvos Loho!” Ulangnya sambil mengejekku.

“Masih kurang, mungkin kau berpikir menggadaikan keperjakaanmu kepadaku.” Bisikannya membuatku merinding.

“Marvos Loho tidak boleh! Tidak akan! Dan tidak pernah!” Jawabku panik.

“Aha! Marvos Loho!” Terkekeh dia sambil melengos pergi.

Kemarin baru saja aku membeli rumah, kecil memang, tidak menampung untuk dua orang. Tapi angsa-angsa cukup, sedikit kecil pekarangan belakang dibuatnya ramai dengan suara-suara parau sesekali. Pernah sesekali aku berpiki untuk menukar angsa ini dengan uang, atau mungkin telornya. Tapi tidak, aku yang hanya mahir berjualan telor angsa tidak mungkin menerima uang dari hasil menjual dua pasang angsa untuk seumur hidup. Jalan pintas yang menggiurkan, tapi menjebak. Sama seperti Marvos Loho. Penebar hutang yang unggul!

Meski baru pertama kali aku bertemu dengannya, tapi badannya yang kecil serta rambutnya yang semerawut sudah mampus membuatku terintimidasi. “Hutang secara online! Secara online! ONLINE!” Teriaknya beberapa bulan lalu. Membuat para penghutang tidak berotak menjadi gegap gempita. “Berhutang saja, secara online! Besok lusa pindah kota!” Ujar orang-orang. Seolah-olah mereka bisa seberuntung itu lari dari Marvos Loho!

Seorang wanita berambut merah buru-buru menghampiriku, berbisik, “Garandaria, sebelum sore ini, coba ke sana!”

“Untuk apa?” Tanyaku heran.

“Marvos Loho! Marvos Loho selalu lupa jalan ke sana! Ingat! Garandaria! Sebelum sore ini!” Kemudian dia sprint, berlari begitu kencang hingga membuat rambut rontoknya berterbangan.

Apa yang akan aku lakukan? Angsa-angsaku bisa bertahan tanpaku sehari. Lagipula pakan sudah sedia dari pagi. Mungkin aku akan ke Garandaria. Sekarang, menjauh dari Marvos Loho.

Sepanjang jalan aku bertanya-tanya, seperti apa masa kecil Marvos Loho, tempat seperti apa Garandaria? Apa benar ini jalannya? Berlari dari hutang membuatku jengah beberapa kali. Seperti lari di tempat tanpa mengeluarkan keringat. Berpikir sepanjang rel membuatku cepat sampai di Garandaria.

Balon.

Sekeluarnya aku dari kereta, banyak balon yang menyerbu wajahku!

   “Daram daram pam pam pam! Daram daram pam pam pam!

            Selamat datang! Selamat girang!

            Garandaria, Garandaria, tempat kau datangkan senang, lupakan muram.

            Garandaria, Garandaria, kami punya banyak, dari singa terbang hingga rumput goyang!

            Daram daram pam pam pam! Parapam pam dam dam dam!

            Tengok kemari, tengok kesana, kelinci babi, bermacam rupa, tak kau ingat gaya!

            Melipir mari, melipir sana, daging kursi, berulang kali dilempar, pria kekar tak berdaya!

            Daram pam param param param!

            Ini Garandaria, Selamat datang! Selamat girang!”

           

Dari awal dan seterusnya, kurcaci kecil dari Garandaria ini beryanyi terus menerus. Wajahnya seperti dipaksa untuk terus tersenyum, dengan topi pesulap tinggi di kepalanya, dengan putaran-putaran badan khas ujung tumitnya.

Dan ketika mencoba menoleh ke atas, aku terperangah! Balon-balon udara dari kertas bermuculan! Berterbangan dan menurunkan glitter-glitter kemerlap! Bagai kembang api!

Garandaria! Kota sirkus!

Aku berjalan-jalan ke sekeliling Garandaria, melihat-lihat pertunjukkan dengan penuh rasa senang! JAGAL MOTOR JAGAL Apa ini? Keriuhan besar di dalam tenda, penasaran memuncak, dan aku ingin masuk! Tepuk tangan, decak kagum, dan napas orang-orang seakan diambil di dalam sana! Pertunjukkan apa yang mereka mainkan di dalam sana? Apa yang coba mereka jagal?

Ketika penasaran menuntunku masuk ke dalam, aku dimintai bayaran. “Aku… Tidak memiliki uang. Sepeserpun.”’ Ucapku.

“Apa saja meski bukan uang, apa saja.” Algojo depan pintu masuk bermuka masam dan tidak bergeming.

Spontan aku merogoh kantong, dan menemukan satu telor angsa milikku, telor angsa pertama di bulan ini, telor angsa yang keluar dari pantat angsa yang aku beli dari hutang pada Marvos Loho! Berjualan telor angsa! Ide terbaikku tahun lalu.

“Ini.” Kataku miris.

“Kurang, kau pikir cukup? Hanya satu telor? Tidak ada lagi?” Gemertak-gemertak marah giginya terdengar.

Aku geram, berjingkit aku, ketus ku bicara, “Ini telor angsa terbaik sepanjang sungai Rollar! Tanpa garam! Kau sedang menyentuh TELOR ANGSA TERBAIK! Ambil! Atau tidak!”

“Baiklah, masuk.” Sambungnya tanpa jeda sambil membuka tirai.

Tiba di dalam tenda, aku melihat banyak orang yang napasnya terambil! Bagaimana tidak! JAGAL MOTOR JAGAL berarti penjagal berkendara motor dengan kecepatan tinggi memotong-motong kepala dan memisahkannya dari tubuh mereka! Dengan atau tanpa leher!

Sepanjang deru motor di berteriak dan dengan pedang panjang lebar, selebar golok dan sepanjang dua kali samurai, dia berteriak girang sambil menjagal! “JAGAL! MOTOR JAGAL!” Teriaknya.

Orang-orang menonton sambil terkesima! Ada beberapa diantaranya tertawa, menapiskan air mata karena gelak tawanya dengan lembaran uang besar, dengan nilai tertinggi di negara ini. Sedangkan wanita lainnya di sebrang sana yang berglamorkan pita emas hanya bisa tertawa, melihat aksi gila dari JAGAL SI MOTOR JAGAL. Pria satu lagi di sebrangku disibukkan dengan kagumnya yang tidak percaya, betapa cepat penjagal memisahkan kepala dari tubuh mereka! Setelah beres pembantaian itu, mereka bersorak sorai, dengan deru motor yang makin kencang, dan meneriakkan sebuah nama, “MARVOS LOHO! MARVOS LOHO!” Diikuti dengan lemparan uang, bunga, dan perhiasan.

Sontak aku yang melihat kejadian tadi ingin segera keluar dan meminta kembali telor angsa pertamaku di bulan ini. telor terbaik sepanjang sungai Rollar! Belum lagi aku ingin lari dari Marvos Loho! Penjual telor angsa terbaik sepanjang sungai Rollar ingin lari dari penebar hutang secara online sekaligus sang penagih, SANG MARVOS LOHO!

“Baiklah! Kali ini, kali ini, dan hanya untuk hari ini, saya akan memberikan pertunjukkan ekstra!” Gema Marvos Loho diikuti riuh makin nyaring di tenda.

Sedangkan aku masih mencari-cari jalan masuk tadi. Kemana jalan masuk tadi? Kenapa semua begitu bulat tanpa ada jalan keluar atau masuk? Keluar! Keluar! Keluar!!!

“Kali ini, saya akan melompati lingkaran penuh api!” Diikuti dengan gema orang-orang biadab itu dengan teriakan “MARVOS LOHO!”

“Dan satu jagal terakhir, setelah lompatan api! Dengan pedang penuh api! Hahahahaha!” Suasana tenda semakin riuh.

Sedangkan aku sudah menyerah dan duduk tanpa tenaga di dekat pintu masuk. Ya, setidaknya tadi di sini ada pintu masuk.

“Dan untuk pertunjukkan terakhir ini, saya panggilkan! Robar Kaliminenko!” Namaku disebut? Apa? Namaku disebut!

Dua algojo mengangkatku yang lemas tanpa tenaga, penonton melihatku dengan tawa dan beberapa di antaranya jijik. Tubuhku lemas tanpa tenaga. Sedangkan Marvos Loho sudah menyalakan motor, lingkaran api sudah disiapkan, dan aku sudah berlutut siap berhadapan dengannya. Tubuhku sangat lemas, tanpa diikat, aku tidak bisa bergerak. Kepalaku pusing dengan riuhnya orang orang berteriak. Belum lagi pemandangan penuh darah di panggung. Manusia-manusia ratusan tanpa kepala berserakan.

Deru motor melaju, Marvos Loho berhasil melewati lingkaran api. Dan  kini aku sadar kenapa kota begitu sepi. Semuanya berlari dari Marvos Loho, berlari ke Garandaria, untuk bertemu kembali sebentar sebelum dipenggal oleh Marvos Loho.

Sejenak sebelum ajal, aku melihat wanita berambut merah yang kutemui tadi pagi bertepuk tangan dan mengedipkan mata di kursi paling atas. Kepalaku penuh dengan telor angsa, sampai akhirnya buyar karena Marvos Loho berteriak.

“AHA! MARVOS LOHO!”

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Reuni

Kupandang berulang-ulang SMS dari Dara, sahabat terbaikku semasa SMA. Mencoba meyakinkanku biar datang nanti pada saat reuni SMA untuk kesekian kalinya. Ku rebahkan badanku dengan sangat malas dan berat pada sofa yang sudah tidak lagi terlalu empuk. Bahkan pinggangku sempat mengeluh perih ketika tulangku bersinggungan dengan tulang-tulang sofa.

“Uhhh.. Sakit. Memang sofa tua, terlalu renta.” Gerutuku.

Memang sudah terlalu lama, terlalu sulit untuk diingat, kapan terakhir aku menepuk-nepuk debu sofa biar berterbangan. Kapan terakhir aku menyikat dan menyeka sofa tua kesayangan dan satu-satunya ini. Sofa dengan warna biru tua kelam, hadiah pernikahan dari sahabat-sahabatku, Dara salah satunya. Dara, sahabat yang begitu ingin aku temui, sahabat yang ingin aku peluk, aku lepas, kemudian aku peluk lagi.

Kupandang sekali lagi handphone butut ini, memastikan akan mengatakan “tidak” pada ajakan Dara. Tapi godaan untuk bertemu Dara sekali lagi membuatku bimbang, berteman dengannya tidak pernah sendu, mudah menghilangkan pilu yang kadang terlalu lama menjadi lumut di hati. Namun… Kali ini? Dara… Maaf.

Jengah. Hari begitu panjang, menunggu dia untuk pulang, menemaniku yang sendirian. Namun masih saja dia disibukkan oleh kemacetan jalan. Sepi, bahkan burung gagak pun akan mati. Mendengarkan irama jam yang begitu monoton diikuti dengan napasku yang sama-sama saja. Begitu standar, begitu-begitu saja. Sejak hari itu, hidupku terasa sama, terasa hambar, menunggu dia pulang, tanpa bisa melakukan apa-apa. Kecuali… Kecuali dengan memainkan social media dan bermain gadget masuk dalam hitungan melakukan apa-apa.

Sesekali otakku berputar pada sisi reuni SMA. Mengingatkanku kembali pada jaman-jaman indah semasa SMA. Begitu ingin aku pergi pada reuni besok. Begitu ingin kakiku melangkah dan menari riang bersama Dara. Seandainya saja aku bisa.

Kusibakkan tirai yang menutupi debu atas sofa. Dia bilang bulan kali ini begitu indah untuk dipandang. Begitu menggoda untuk dicuri, disandingkan dengan mataku yang berkilauan. Ah, masih saja dia romantis sesuai caranya. Pesan yang langsung saja dikirim ketika aku mengeluh tentang rinduku padanya. Sepuluh jam bergitu terasa berlebihan untukku. Kasih, cepatlah pulang. Rindu membuatku terus menggerutu.

Memang bulan sekarang begitu indah. Berkilauan, pamer, membuat bintang disekitarnya menjadi iri. Cahayanya membuat bintang kehilangan perhatian. Rasi bintang terindah dan venus merah pun tercuri perhatiannya. Ah… Anggunnya bulan malam ini masih belum bisa menggoyahkan pikiranku tentang reuni besok yang akan terjadi. Bisa aku rasakan hiruk-pikuk dan kemeriahannya seperti tahun lalu. Tawa dan canda diumbar, bahagia rasanya.

Lalu… Tahun ini, apa aku lewatkan saja?

Lagi, Dara meneleponku kembali. Seingatku sudah kesembilan kalinya dia menelepon. Tapi tidak pernah aku angkat. Khawatir terselip rindu dalam getar suaraku. Khawatir terucap kata ingin bertemu, dengan malu yang menunggu. Aku ingin bertemu Dara, bicara, tertawa, bahkan tertidur sementara. Tapi tidak pada masa ini, aku belum siap.

Sama dengan belum siapnya aku untuk mengangkat panggilan dari Dara. Kali ini? Maaf… Dara.

Entah kenapa aku begitu mudah larut dalam sendu yang berkepanjangan. Mudah tenggelam dalam rasa sepi, gundah, dan jengah bersamaan. Tidak seperti aku dulu, semasa SMA yang begitu bersemangat, mengikuti banyak kegiatan sekolah hingga lupa rumah. Aku dulu begitu populer, bahkan sangat populer. Bahkan, mereka calon murid baru dan alumni tiga generasi terdahulu mengenal namaku dengan baik. Lantas, mengapa aku masih ragu untuk datang pada reuni?

Reuni. Datang atau tidak, aku rasa mereka masih akan mengingatku. Tidak hanya itu saja, mereka akan merindukanku dengan segala keramaian yang kami buat. Reuni pasti masih ada tahun depan. Mungkin tidak menjadi masalah aku melewatkannya tahun ini. Hanya saja, harus menunggu selama dua belas bulan, atau empat puluh delapan minggu, atau tiga ratus enam puluh lima hari lagi untuk reuni berikutnya.

Mulai tergoda aku untuk mengatakan iya pada Dara. Meneleponnya balik, mengatakan iya, kemudian menentukan corak apa yang akan kami pakai pada reuni nanti. Belum selesai khayalanku pada keriuhan nanti, tiba-tiba pintu depan ada yang mengetuk.

“Iyaaa..? Siapaaa?” Teriakku dari dalam.

“Ini aku, akhirnya aku pulang.” Kekasihku datang.

“Sebegitu macet dijalan?” Tanyaku dengan wajah kesal. Berniat sedikit mencuri perhatian, melempar sinyal bahwa rinduku terlalu meluap-luap saat ini.

Tanpa menjawab dia melepas sepatu dan menaruh belanjaan di meja depan, berjalan dengan lelah menghampiriku. Jongkok, tersenyum, kemudian, “Hai.” Mengecupku manis di kening, memelukku erat, mengecup pundakku sebegitu halus.

“Aku rindu.” Bisikku.

“Iya, aku tau. Karena sama rasa itu ada padaku.” Balas bisiknya.

Dia beranjak, kembali ke depan pintu rumah, mengambil belanjaan yang tadi dia lepaskan. “Beli apa untuk hari ini?” Tanyaku penasaran.

“Spesial, nasi goreng mawut plus telor dadar.” Senyumnya mengisyaratkan sesuatu.

“Pak Tobi’in??” Tanyaku buru-buru.

Dia mengangguk. “YEAAH! Makasih sayaaang…! Pantesan kamu lama.” Erangku manja.

Pak Tobi’in adalah penjual nasi goreng mawut favoritku semasa SMA. Rasanya begitu menggoda, aromanya terlalu naif untuk ditahan. Aku begitu mencintainya semasa itu, begitu menyukai racikan yang dia buat selama bertahun-tahun. Hingga aku lulus pun, aku masih sering bertandang ke sana.

“Eh, kamu jadi ke reunian besok?” Tiba-tiba dia bertanya.

Mendadak nafsu makanku yang tadi banyak, mulai melunak. “Hmm. Masih belum tau. Menurut kamu?”

Dia tersenyum manis menggoda. “Aku rasa Dara juga sangat merindukanmu.”

“Mungkin tidak, aku tidak akan datang.” Sambilku membuka bungkusan nasi goreng mawut spesial.

“Yakin?” Tanyanya sambil menggeser kursi biar duduk berhadapan denganku.

Aku hanya bisa mengangguk. Mengambil piring yang dia sodorkan, tak sabar untuk makan. Tak sabar untuk menyudahi percakapan.

“Masih ada sekitar delapan belas jam untukmu berubah pikiran.” Godanya lagi. Aku acuh, mulai makan dan menikmati nasi goreng mawut spesial.

“Enak?” Tanyanya sekali lagi.

“Sudah pasti lah!” Jawabku tanpa ragu, diakhirnya dengan tawa kami yang memenuhi seisi rumah.

“Hmm. Sayang, besok pagi jadi kan?” Tanyaku lirih.

Dia taruh piring dengan nasi goreng mawut di atas pangkuannya. Kemudian dia genggam tanganku erat, menatap mataku tajam. “Hanya bila kau siap. Dan aku berharap secepatnya kau siap. Meski bukan besok.”

Aku tersenyum manis, “Sudah berapa kali kita menundanya?”

“Berkali-kali. Terlalu banyak.” Jawabnya sambil membawa satu suapan nasi goreng mawut ke dalam mulutku.

“Jadi?” Tanyanya padaku.

“Aku siap.” Tegasku padanya.

Tersenyum dia, dikecupnya kedua kakiku, “Selamat diamputasi besok, kaki-kaki istriku.”

Disentuhnya pipiku dengan lembut. Mengusap pipiku dengan jempolnya yang maju-mundur, “Aku mencintaimu, masih sama. Dengan atau tanpa kakimu.”

Diciumnya mesra bibirku yang basah dengan air mata.

1 Comment

Filed under Uncategorized

Bugil

Aku bertelanjang di keramaian.

Melewati dinginnya malam tanpa satu helai busana, tanpa satu helai benang.

Tak hanya malam yang dingin, tatapan jijik orang-orang yang membuatku lebih bergidik.

 

Bertelanjang aku berjalan di keramaian.

Tanpa ada yang sudi bertanya ada apa pada pandanganku yang kosong melompong.

Bahkan mual melihat lemak-lemak bergelambir, pada perutku yang hampir menutupi kemaluan.

 

Bertelanjang, aku di tengah jalan.

Tidak ada yang menabrak, sengaja mengelak.

Tidak ada yang berteriak, hanya memandang dengan mengernyitkan alis mereka kuat-kuat.

 

Sejauh apa aku sudah berjalan?

Hingga di masa aku berada, tidak ada lagi yang perduli pada yang bukan siapa-siapa.

 

Bugil aku dalam heningnya malam, menangis lirih dalam acuhnya peradaban.

 

 

 

Teruntuk aku sendiri yang sengaja melewati pria tanpa busana di jalan tadi.

Teruntuk aku sendiri, yang menulis malu pada diri sendiri.

Teruntuk aku sendiri, ya, kepada aku sendiri.

1 Comment

Filed under Uncategorized